Selasa, 24 Maret 2015

umroh jogja

umroh jogja WhatsApp +62815-16-456-90 WA, Umrah dan Haji Plus : Tour and Traveling - Keliling Dunia TRAVEL memberikan pelayanan maksimal kepada para pelanggan. Selain menawarkan layanan Program Ibadah Umroh dan Umroh Plus, kami juga melayani Paket Wisata Muslim Cina, Hongkong, Eropa, Australia. Selain itu Tour and Travel juga melayani jasa penjualan tiket pesawat Online. Untuk konsultasi perjalanan, anda dapat menghubungi kami di Jam Kerja: 7pagi - 7malam.

PUNCAK PROMO UMRAH  APRIL 2015
PAKET UMRAH 9 HARI NAA WISATA
MASKAPAI : Citilink 
HARGA ALL IN TERMASUK :Airport tax+perlengkapan 1jtSurat Mahram 300rb  Mutiara Lounge Executive 100rb 
BERANGKAT : 08, 15, 29  APRIL 2015
REGULER : USD 1.700Mekkah : Fajrul Badi' (±500m)Medinah : Markaz Ilyas (±100m)
VIP *5 : USD 2.1000Mekkah : Zam-Zam/Safwa (±0m)Medinah : Markas Ilyas (±100m)
-----------------------------------------
PAKET UMRAH 9 HARI Direct Madinah

MASKAPAI : 

Flynas Direct Madinah 
HARGA ALL IN TERMASUK :
Airport tax+perlengkapan 1jt
Surat Mahram 300rb  
Mutiara Lounge Executive 100rb 
BERANGKAT : 
29  APRIL 2015 
REGULER : USD 2.000 
Mekkah : Fajrul Badi' (±500m)
Medinah : Markaz Ilyas (±100m)
VIP *5 : USD 2.300
Mekkah : Zam-Zam/Safwa (±0m)
Medinah : Concorde (±100m)

----------------------------------------
NB : - Harga diatas berlaku bagi yang daftar paling  lambat 25 Maret 2015 - Khusus 29 April jika harga visa naik,  maka akan dikenakan biaya tambahan kenaikan visa. 
----------------------*Tunjukkan promosi ini saat mendaftar !*
CP : RianSenior ConsultantWhatsApp +62815-16-456-90 (jam Kerja)WA 0815-16-456-90http://tour-and-traveling.blogspot.com/

Jumat, 20 Maret 2015

Sebelas Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulang Kali Saat Berada Di Mekkah


SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH

Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
sumber::http://almanhaj.or.id/content/2576/slash/0/sebelas-alasan-tidak-melakukan-umrah-berulang-kali-saat-berada-di-mekkah/

Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal, yaitu al hillu, Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala. Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa'i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh 'Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]

SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allah, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Disamping itu juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.

Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari'at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida` (melampaui batas) terhadap hak Allah, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allah dalam hukumNya. Allah berfirman : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih" [Asy Syura /42: 21][2]

JUMLAH UMRAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak 4 kali. 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ مِنْ قَابِلٍ وَالثَّالِثَةَ مِنْ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِي مَعَ حَجَّتِهِ

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah mengerjakan umrah sebanyak empat kali. (Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji'ranah, dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau".[3]

Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat [4]. Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji. 

Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah pernjanjian Hudhaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan. 

Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha`[5] tahun 7 H. Selama tiga hari beliau n berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa`dah.[6]

SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Keterangan beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’. [7]

Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas- tidak disyariatkan. 

1. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin menyimpulkan, setiap umrah mempunyai waktu safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja [8]. Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah. 

2. Para sahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haji Wada’, tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari mereka yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah. Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[9]

3. Umrah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau berada di sana. Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah. Beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]

4. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam. Karena thawaf di Ka’bah tetap masyru’ sejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Bahkan sejak Nabi Ibrahim Alaihissalam. Mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu, sudah mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah. Sebab, tidak mungkin Rasulullah dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul/ (yang nilainya kurang) -dalam hal ini thawaf- dibandingkan amalan yang lebih afdhal (umrah menurut asumsi sebagian jamaah haji). Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan umat untuk melakukan umrah berulang-ulang. Ucapan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim.[11]

Ibnul Qayyim berkata,"Tidak ada umrah beliau dalam keadaan beliau keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah. 

Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali 'Aisyah semata…[12]

5. Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi. Beliau mengizinkannya setelah 'Aisyah memohon dengan sangat.[13]

Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aisyah mendapatkan haidh, maka Rasulullah memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah disana. Karena 'Aisyah menyangka, bahwa umrah yang dilakukan bersamaan dengan haji, akan batal, sehingga ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengijinkan 'Aisyah melakukan umrah lagi.

Umrah yang dilakukan ‘Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan 'Aisyah Radhiyallahu 'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.

Ibnul Qayyim mengatakan, (Umrah ‘Aisyah) menjadi dasar tentang umrah dari Mekkah. Tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) selainnya. Sesungguhnya Nabi dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]

Imam asy Syaukani rahimahullah berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Padahal, tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang sahabat melakukan yang demikian itu”.[15]

6. Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah. Imam Ahmad pernah menukil perkataan Ibnu 'Abbas: “Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.

‘Atha bin Abi Rabah [16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata : “Tidak ada manusia ciptaan Allah kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”. 

Thawus [17] berkata: “Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi masih hidup, kecuali ‘Aisyah saja. Kisah ini sudah dijelaskan persoalannya di atas.

Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]

7. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa'i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan). [19]

8. Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut. 

9. Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama[20]. Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. 

Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas mengatakan : 

مَا أَدْرِيْ أَيُؤْجَرُوْنَ عَلَيْهَا أَمْ يُعَذَّبُوْنَ. قِيْلَ : فَلِمَ يُعَذَّبُوْنَ؟ قَالَ : لِأَنَّهُ يَدَعُ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ . وَيَخْرُجُ إِلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالِ وَيَجِيْئُ وَإِلَى أَنْ يَجِيْئَ مِنْ أَرَبَعَةِ أَمْيَالٍ قَدْ طَافَ مِائَتَيْ طَوَافٍ. وَكُلَّمَا طَافَ بِالْبَيْتِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يَمْشِيَ فِيْ غَيْرِ شَيْئٍ

"Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa". Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang menempuh jarak empat mil, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21] 

‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”. [22]

10. Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam. Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum.[23]

Di antara dalil yang umum, hadits Nabi: 

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا 

"Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya" [24]. 

Tentang hadits ini, Syaikh al 'Utsaimin mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim [25]. Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang. 

11. Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26] 

LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Dan yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan : “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”. 

Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah Allah tetapkan di dalam KitabNya, berdasarkan keterangan NabiNya. Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnnya. 

Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasulullah dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu. Beliau bersabda: 

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى فِيْ أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

"Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka'bah dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang" [27] 

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan berfirman : 

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud" [al Baqarah/2:125]

Dalam ayat yang lain: 

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' dan sujud" [al Hajj/22:26]

Pada dua ayat di atas, Allah menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka'bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku' dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja. Nabi bersabda: 

وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُورًا

"Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat pensuci bagi diriku" [HR. al-Bukhari - Muslim]

Maksudnya, Allah Subhanhu wa Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu. Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat. Karena tempat pelaksanaannya lebih umum. 

Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28]

Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ سَبْعًا كَعِدْلِ رَقَبَةٍ 

"Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian" [29]. 

Kesimpulannya : Memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]

Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan thawaf berulangkali, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau bersabda : Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu. [Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.] [31]

Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Maraji : 
- Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul 'Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M. 
- Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi. 
- Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M. 
- Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit. 
- Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M. 
- Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M. 
- Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668.
[2]. Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al Khumayyis dalam adz Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8.
[3]. Shahih. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450.
[4]. Zadul Ma’ad, 2/89.
[5]. Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha` atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk mengqadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh 
kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali. Demikian penjelasan as Suhaili. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 2/86.
[6]. Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86.
[7]. Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy Syarhul Mumti’, 7/407.
[8]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[9]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[10]. Majmu’ al Fatawa, 26/254.
[11]. Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273.
[12]. Zaadul Ma’ad, 2/89.
[13]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[14]. Zaadul Ma’ad, 2/163.
[15]. Dikutip dari al Wajiz, halaman 268.
[16]. Atha bin Abi Rabah Aslam al-Qurasyi al Fihri, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Diantara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, Abdullah bin Amr bin al Ash, Abdullah bin Zubair. Seorang Mufri Mekkah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114H
[17]. Thawus bin Kaisan al Yamani, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in, berguru kepada sejumlah sahabat, mislnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Muad bin Jabal. Aisyah seorang ahli fiqih di zamannya. Wafat tahun 106H
[18]. Majmu' al Fatawa, 26/256-258.
[19]. Ibid, 26/262.
[20]. Ibid, 2/264.
[21]. Ibid, 26/264.
[22]. Ibid, 26/266.
[23]. Ibid, 26/270.
[24]. HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349.
[25]. Asy Syarhul Mumti’, 7/408.
[26]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[27]. Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254
[28]. Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas.
[29]. Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[30]. Majmu' al Fatawa, 26/290.
[31]. Al Wajiz, halaman 268.

Jogja Istimewa

Jogja Istimewa - Lirik Lagu


Jogja Jogja tetap istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia

Rungokno iki GATRA seko Ngayogyakarta
Negeri paling penak rasane koyo swargo
Ora peduli dunyo dadi neroko
Ning kene tansah edi peni lan mardiko

Tanah lahirkan tahta, TAHTA UNTUK RAKYAT
Di mana rajanya bersemi di Kalbu rakyat
Demikianlah singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat

Memayu hayuning bawono
Seko jaman perjuangan nganti merdeko
Jogja istimewa bukan hanya daerahnya
Tapi juga karena orang-orangnya

Tambur wis ditabuh, suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng poro prajurit lan senopati
MUKTI utowo mati manunggal kawulo gusti

Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan

Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup di tengah modernisasi
Rakyatnya njajah deso milang kori
Nyebarake seni lan budhi pekerti

Elingo kabare Sri Sultan Hamengku Buwono Kaping IX
Sakduwur-duwure sinau kudune dhewe tetep wong jowo
Diumpamake kacang kang ora ninggalke lanjaran
marang bumi sing nglairake dewe tansah kelingan

Ing ngarso sung tulodo
Ing madya mangun karso
Tut wuri handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji

Sepi ing pamrih rame ing nggawe
Sejarah ning kene wis mbuktikake
Jogja istimewa bukan hanya tuk dirinya
Jogja istimewa untuk Indonesia

Benarkah Rasulullah Saw Berhaji Cuma Sekali?

MASA NABI MUHAMMAD SAW
1. Dari segi sejarah, ibadah haji seperti yang sekarang ini merupakan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai langkah memperbaharui dan menyambung ajaran Nabi Allah Ibrahim as. Ibadah haji mula diwajibkan ke atas umat Islam pada tahun ke-6 Hijrah, mengikuti turunnya QS Al-Imran 97, artinya : “..... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

Pada tahun tersebut, Rasulullah SAW bersama-sama lebih kurang 1500 orang berangkat ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji tetapi

tidak dapat mengerjakannya karena dihalangi oleh kaum kafir Quraisy sehingga melahirkan satu perjanjian yang dinamakan Perjanjian Hudaibiah. Perjanjian itu membuka jalan bagi perkembangan Islam di mana pada tahun berikutnya ( tahun ke-7 Hijrah ), Rasulullah telah mengerjakan Umrah bersama-sama 2000 orang umat Islam. Pada tahun ke-9 Hijrah, barulah ibadah Haji dapat dikerjakan di mana Rasulullah SAW menyerahkan kepada Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memimpin 300 orang umat Islam mengerjakan haji.

2. Rasulullah SAW mengerjakan haji

Nabi Muhammad SAW telah menunaikan fardhu haji sekali saja dan umroh 4 kali semasa hayatnya. Haji itu dinamakan Hijjatul Wada/ Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam atau Hijjatuttamam Wal Kamal kerana selepas haji itu tidak berapa lama kemudian beliau pun wafat. Beliau berangkat dari Madinatul Munawwarah pada hari Sabtu, 25 Zulqo’dah tahun 10 Hijrah bersama isteri dan sahabat-sahabatnya bersama kurang lebih 90,000 orang Islam. Setelah menginap satu malam di Zulhulaifah, sekarang dikenali dengan nama Bir Ali, 10 km dari Madinah, esoknya Nabi mengenakan pakaian ihram diikuti seluruh anggota rombongan. Mereka berjalan bersama-sama dengan pakaian putih yang sederhana, perlambang kesederhanaan dan persamaan yang amat jelas.

Dengan seluruh kalbu Muhammad SAW menengadahkan wajahnya kepada Tuhan sembari mengucapkan talbiyah sebagai tanda syukur atas nikmat karunia-Nya diikuti kaum muslimin di belakangnya: "Labbaik Allahumma Labbaik,Labbaika laa syarikka laka labbaik, Innal haamda wanni'mata laka wal mulk Laa syariika laka“, artinya : "Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu semata-mata.Segenap kerajaan untuk-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.Di bawah sengatan matahari gurun, di padang pasir yang tidak dikenal banyak umat, bergerak arus manusia dan kafilah menuju satu titik. Mereka menyambut panggilan Nabi Ibrahim as beberapa abad silam. Tidak ada peristiwa yang membedakan seseorang dengan lainnya. Tidak pula perbedaan ras, bangsa atau warna kulit. Sesungguhnya, inilah pemandangan paling indah tentang asas persamaan bahwa semua makhluk sama di depan Tuhan. Yang membedakan, hanya kadar iman dan takwa seseorang. Mereka memenuhi seruan Nabi untuk saling mengenal, merajut kasih sayang, keikhlasan hati dan semangat ukhuwah islamiah. Dengan penuh kesabaran pula mereka menanti tibanya Haji Akbar, dan rasa rindu bertemu Baitullah, dengan jantung berdegup keras.

Pada tanggal 4 Dzulhijjah rombongan masuk Makkah, selanjutnya Nabi menuju Ka’bah, melakukan thawaf dan mencium Hajar Aswad. Sesudah tawaf, Nabi shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, lalu mencium Hajar Aswad untuk kedua kalinya. Kemudian menghadapkan wajahnya ke arah bukit Shafa, lalu lari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah. Di situ dimaklumatkan barangsiapa yang tidak membawa hadyu (ternak kurban untuk disembelih) hendaknya mengakhiri ihramnya (tahallul) dan menjadikan ibadah itu sebagai umrah. Awalnya maklumat itu dilaksanakan tanpa sepenuh hati. Nabi marah, sampai-sampai beliau kembali ke kemahnya. "Bagaimana aku tidak marah, aku menyuruh mereka melakukan sesuatu, tapi mereka tidak menaatiku," jawab Nabi atas pertanyaan Aisyah. Namun akhirnya seluruh rombongan menyesali perbuatannya. Mereka segera ber-tahallul seperti yang dilakukan Fathimah putri Nabi, dan semua istrinya.

Hari ke-8 Zulhijjah yaitu Hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina bersama rombongannya. Selama satu hari melakukan shalat dan tinggal bersama kaumnya. Malamnya di saat sang fajar menyembul setelah Shalat Subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’, tatkala matahari mulai tampak, beliau menuju Padang Arafah. Dalam perjalanan yang diikuti ribuan muslim yang mengucapkan talbiyah dan bertakbir, Nabi mendengarkan dan membiarkan mereka dalam kekhusyu’an. Pada tanggal 09 Zulhijjah yang jatuh pada hari Jumaat, Rasulullah SAW melakukan wukuf di Arafah. Ketika berada di perut wadi di bilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berdiri dan berkhutbah di depan lebih 90.000 orang yang mengelilinginya. Itulah peristiwa bersejarah yang dikenal dengan julukan “Al-Hijjatul Wada” atau “Haji Perpisahan’. Peristiwa yang begitu mengesankan dan indah, serta merupakan khulasha (kesimpulan) ajaran Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada masyarakat Islam. Khutbah berlangsung di bawah panas matahari yang mampu membakar ubun-ubun, dan didengarkan dengan khidmat. Kepada Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf diminta mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar didengar di tempat yang jauh. Sore harinya, rombongan Rasulullah SAW bergerak ke arah Muzdalifah untuk bermalam di sana. Menjelang fajar, rombongan menuju ke Mina untuk melakukan pelemparan jumroh kubro (Aqabah), menyembelih ternak kurban. Kemudian menuju Baitullah untuk melaksanakan thawaf Ifadha’ dan kembali lagi ke Mina untuk melanjutkan pelemparan jumroh.
Catatan : melempar jumrah berawal dari mimpi Nabi Ibrahim as yang diperintah untuk menyembelih putranya Ismail as, dimana pada awalnya beliau tidak percaya akan mimpi itu, namun karena selalu datang berturut-turut, karena yakin akan kebenaran mimpi itu Ibrahim as melaksanakan perintah itu dengan membawa Ismail as melewati tiga tempat dimana beliau diganggu agar mengurungkan niatnya, namun atas petunjuk Allah diketahui bahwa mereka yang mengganggu adalah syetan, sampai Ibrahim as melempar batu di tiga tempat itu. Dalam rangkaian ibadah haji dikenal dengan Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah.

Rasulullah SAW telah menyempurnakan semua rukun dan wajib haji hingga tanggal 13 Zulhijjah. Dan pada tanggal 14 Zulhijjah, Rasulullah SAW berangkat meninggalkan Makkah Al-Mukarramah kembali menuju Madinah Al-Munawwarah.

RISTIWA PADA MASA HIJJATUL WADA'
Di masa wukuf terdapat beberapa peristiwa penting yang bisa dijadikan pegangan dan panduan umat Islam terhadap suatu masalah, di antaranya adalah :
a. Rasulullah SAW minum susu di atas unta supaya dilihat oleh orang ramai bahwa pada hari Arafah itu PEbeliau tidak berpuasa, namun membolehkan umat Islam berpuasa sunat.
b. Seorang sahabat jatuh dari binatang tunganggannya lalu mati, Rasulullah SAW menyuruh supaya mayat itu dikafankan dengan 2 kain ihram dan tidak membenarkan kepalanya ditutup atau diwangikan jasad dan kafannya. Sabda beliau pada ketika itu bahawa "Sahabat itu akan dibangkitkan pada hari kiamat di dalam keadaan berihram dan bertalbiyah".
c. Rasulullah SAW menjawab pertanyaan seorang ahli Najdi : "Apakah Haji itu ?". Beliau menjawab, artinya : " Haji itu berhenti di Arafah". Siapa tiba di Arafah sebelum naik fajar 10 Zulhijjah maka ia telah melaksanakan haji.
d. Turunnya ayat suci Al-Quranul Karim surat Al-Maaidah ayat 3 : “Al yauma akmaltu lakum diinakum, wa atmamtu ‘alaikum ni’matii, wa radhiitu lakumul islaama dinan …”, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan aku telah ridha Islam itu menjadi agamamu ….“. (Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW masih berada di atas onta beliau di kaki Jabal Rahmah, suatu bukit di padang Arafah)

Benarkah Rasulullah Saw Berhaji Cuma Sekali?

Diasuh oleh:
Ust. Muhammad Muafa, M.Pd
Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jawa Timur

Pertanyaan kirim ke: redaksi@suara-islam.com
sumber::http://www.suara-islam.com/read/index/4672/Benarkah-Rasulullah-Saw-Berhaji-Cuma-Sekali-

Asalamualaikum wr wb. Pertanyaan saya, benarkah Rosululloh melaksanakan ibadah Hajinya cuma sekali dlm seumur hidup beliau.
h.busery" <busery2560@gimail.com>


Jawaban:

Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh


Benar. Setelah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam berhijrah ke Madinah dan turun ayat yang mewajibkan Haji, beliau hanya sempat berhaji sebanyak satu kali yaitu Haji Wada'  pada tahun 10 H dan berumroh sebanyak empat kali. Adapun sebelum Hijrah, Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam berhaji berkali-kali dan hanya Allah yang tahu berapa banyak persisnya.

Haji baru diwajibkan setelah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam berhijrah ke Madinah, yaitu pada tahun 6 Hijriyah (pendapat lain tahun 9 Hijriyyah). Ketika itu, turun Firman Allah yang berbunyi;

{ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا} [آل عمران: 97]

Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Ali Imran; 97)

Namun, situasi dan kondisi perjuangan dakwah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam membuat beliau baru sanggup melaksanakan kewajiban Haji ini pada tahun 10 H bersama 100.000 lebih kaum Muslimin yang dikenal dalam sejarah dengan nama Haji Wada'  (حِجَّةُ الْوَدَاعِ), atau Haji Balagh, (حِجَّةُ الْبَلاَغِ), atau Haji Islam  (حِجَّةُ اْلإِسْلاَمِ). Dinamakan Haji Wada'  ( Haji perpisahan) karena Nabi dalam Haji tersebut mengucapkan Khutbah yang mengandung pesan perpisahan, seakan-akan itu adalah Haji yang terakhir. Dinamakan Haji Balagh (Haji penyampaian), karena pada waktu Haji tersebut Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah dengan banyak nasihat, dan setiap kali menyampaikan satu nasihat beliau bertanya kepada hadirin: apakah aku telah menyampaikan? Dan hadirin menjawab; ya. Lalu beliau bersabda; Ya Allah saksikanlah. Dinamakan Haji Islam , karena Haji tersebut adalah satu-satunya Haji yang ditunaikan Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam setelah diwajibkan. Jadi, Haji Wada'  adalah satu-satunya Haji yang ditunaikan Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam setelah diwajibkan. Haji Wada'  memiliki sejumlah nama lain sebagaimana yang telah dijelaskan, namun semuanya menunjuk satu peristiwa Haji Nabi, yaitu Haji Wada'  yang beliau lakukan pada tahun 10 H.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam hanya berhaji satu kali setelah Hijrah adalah Hadis berikut;

سنن الترمذى - مكنز (3/ 387، بترقيم الشاملة آليا)
 Ø¹Ù† قَتَادَةُ قَالَ قُلْتُ لأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ كَمْ حَجَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ حَجَّةٌ وَاحِدَةٌ وَاعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةٌ فِى ذِى الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةُ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةٌ مَعَ حَجَّتِهِ وَعُمْرَةُ الْجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَّمَ غَنِيمَةَ حُنَيْنٍ

Dari Qatadah bercerita; "Aku bertanya kepada Anas bin Malik; 'Berapa kali Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan Haji? ' Dia menjawab; 'Satu kali dan berumrah empat kali umrah'; satu kali di bulan Dzul Qa'dah, umrah Hudaibiyah, umrah bersama Haji dan umrah Ji'ronah tatkala membagi harta rampasan perang Hunain'."
 (H.R. At-Tirmidzi)

Riwayat Bukhari berbunyi;

صحيح البخاري (13/ 312)
عن زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ غَزْوَةً وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً لَمْ يَحُجَّ بَعْدَهَا حَجَّةَ الْوَدَاعِ
قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ وَبِمَكَّةَ أُخْرَى

Dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah berperang sebanyak sembilan belas peperangan. Dan beliau melaksanakan Haji setelah Hijrah sebanyak satu kali, dan  tidak melaksanakan Haji setelah itu. Haji itu adalah Haji Wada' . (H.R. Bukhari)

Riwayat Muslim berbunyi;

صحيح مسلم (6/ 322)
عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ سَأَلْتُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ
كَمْ غَزَوْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَ عَشْرَةَ قَالَ وَحَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً حَجَّةَ الْوَدَاعِ

dari Abu Ishaq ia berkata; saya bertanya kepada Zaid bin Arqam, "Berapa kali Anda berperang bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Ia menjawab, "Tujuh belas kali." Abu Ishaq berkata; Dan telah menceritakan kepadaku Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah berperang sebanyak sembilan belas kali, dan setelah Hijrah beliau mengerjakan Haji hanya sekali, yaitu Haji Wada' 
 (H.R. Muslim)

Adapun sebelum Hijrah, Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam juga berhaji sebagaimana tampak dalam riwayat berikut;

صحيح البخاري (6/ 116)
عَنْ عَمْرٍو سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ
أَضْلَلْتُ بَعِيرًا لِي فَذَهَبْتُ أَطْلُبُهُ يَوْمَ عَرَفَةَ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاقِفًا بِعَرَفَةَ فَقُلْتُ هَذَا وَاللَّهِ مِنْ الْحُمْسِ فَمَا شَأْنُهُ هَا هُنَا

Dari 'Amr dia mendangar Muhammad bin Jubair dari bapaknya, Jubair bin Muth'im berkata: "Aku kehilangan seekor unta milikku, maka aku keluar mencarinya pada hari 'Arafah. Disana aku melihat Nabi Shallallahu'alaihiwasallam sedang wuquf di 'Arafah. Aku berkata: "Demi Allah, dia dari Al Humus (Quraisy), apa yang dilakukannya disini?".
 (H.R. Bukhari)

Jubair bin Muth'im pada saat peristiwa kehilangan untanya ini masih kafir dan baru masuk Islam  saat Fathu Mekah (pendapat lain; saat perang Khoibar). Karena itu para ulama sepakat bahawa Jubair bin Muth'im ketika melihat Nabi Wukuf di Arofah dalam riwayat ini adalah pada saat beliau masih di Mekah, artinya belum berhijrah. Karena itu, riwayat ini bermakna Nabi juga berhaji saat beliau masih di Mekah.

Namun jumlah persis berapa kali Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam berhaji saat masih di Mekah sebelum Hijrah tidak diketahui, karena tidak ada riwayat shahih yang menunjukkan hal tersebut. Adapun Hadis riwayat At-Tirmidzi yang menunjukkan bahwa Nabi berhaji dua kali sebelum Hijrah, yakni riwayat yang berbunyi;

سنن الترمذى (3/ 317)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّ ثَلَاثَ حِجَجٍ حَجَّتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُهَاجِرَ وَحَجَّةً بَعْدَ مَا هَاجَرَ وَمَعَهَا عُمْرَةٌ فَسَاقَ ثَلَاثَةً وَسِتِّينَ بَدَنَةً وَجَاءَ عَلِيٌّ مِنْ الْيَمَنِ بِبَقِيَّتِهَا فِيهَا جَمَلٌ لِأَبِي جَهْلٍ فِي أَنْفِهِ بُرَةٌ مِنْ فِضَّةٍ فَنَحَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ بَدَنَةٍ بِبَضْعَةٍ فَطُبِخَتْ وَشَرِبَ مِنْ مَرَقِهَا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ حُبَابٍ وَرَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ فِي كُتُبِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي زِيَادٍ قَالَ وَسَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا فَلَمْ يَعْرِفْهُ مِنْ حَدِيثِ الثَّوْرِيِّ عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأَيْتُهُ لَمْ يَعُدَّ هَذَا الْحَدِيثَ مَحْفُوظًا و قَالَ إِنَّمَا يُرْوَى عَنْ الثَّوْرِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ مُجَاهِدٍ مُرْسَلًا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Ziyad Al Kufi telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab dari Sufyan dari Ja'far bin Muhammad dari Ayahnya dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melaksanakan Haji sebanyak tiga kali; dua kali beliau lakukan sebelum Hijrah dan satu kali setelah Hijrah beserta umrah dengan membawa enam puluh tiga ekor badanah (unta). Lalu Ali tiba dari Yaman dengan membawa sisanya, di antaranya terdapat unta Abu Jahal pada hidungnya terdapat lingkaran dari perak. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyembelihnya. Beliau juga memerintahkan (untuk mengambil) sebagian dari tiap-tiap unta untuk dimasak. Lalu beliau meminum kuahnya. Abu 'Isa berkata; "Ini merupakan hadits gharib dari hadits Sufyan, yang tidak kami ketahui kecuali dari hadits Zaid bin Hubab. Saya melihat Abdullah bin Abdurrahman meriwayatkan hadits ini dalam buku-bukunya, dari Abdullah bin Abu Ziyad. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Saya bertanya kepada Muhammad tentang hadits ini, namun dia tidak mengetahuinya dari hadits Ats Tsauri dari Ja'far dari ayahnya dari Jabir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.Saya melihat (Muhammad) tidak memasukannya dalam hadits yang mahfuzh, dia berkata; 'Akan tetapi diriwayatkan dari Ats Tsauri dari Abu Ishaq dari Mujahid secara mursal'." (H.R. At-Tirmidzi)

Maka, riwayat ini adalah riwayat Syadz sehingga terkategori Hadis Dhoif yang tidak bisa dijadikan pegangan. At-Tirmidzi sendiri yang meriwayatkan Hadis ini menggolongkannya sebagai Hadis Ghorib. Ketika At-Tirmidzi menanyakan kepada Bukhari kualitas Hadis ini, At-Tirmidzi memahami dari penjelasan Bukhari bahwa Hadis ini tergolong Hadis Syadz.
Ibnu Hajar Al-'Asqolani dalam kitabnya Fathul Bari, syarah Shahih Bukhari menegaskan bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam berhaji berkali-kali saat berada di Mekah, namun tidak menjelaskan angka persisnya. Beliau berkata;

فتح الباري لابن حجر (12/  222)
حَجَّ قَبْل أَنْ يُهَاجِر مِرَارًا ، بَلْ الَّذِي لَا أَرْتَاب فِيهِ أَنَّهُ لَمْ يَتْرُك الْحَجّ وَهُوَ بِمَكَّة قَطُّ

"Beliau (Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam) berhaji sebelum Hijrah berkali-kali. Bahkan, yang tidak ada keraguan lagi adalah beliau tidak pernah meninggalkan Haji sama sekali pada saat di Mekah"(Fathu Al-Bari, vol. 12 hlm 222)

Jadi, Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam hanya berhaji satu kali selama hidup di Madinah (setelah Hijrah), dan berhaji berkali-kali (dengan jumlah yang diketahui Allah) ketika berada di Mekah.Wallahua'lam.